Filled Under:

Bunga-bunga Dakwah part 2

cerita motivasi
Di ruangan kepala sekolah. Ogi dan Jamil duduk manis di ruangan yang sejuk dan harum. Di depan meja kepala sekolah tampak papan nama dan gelar pemilik meja tersebut yang sangat dikenalnya: Drs. Bustami. Koko nggak bisa ikut karena sakit. Bapak kepala sekolah sedang ke luar ruangan. Sebentar sih katanya. Ogi dan Jamil saling berbisik.
“Mil, kayaknya enak juga ya jadi kepala sekolah,” Ogi melirik Jamil.
“Tapi banyak nggak enaknya,” Jamil sambil nyengir.
“Kok bisa sih?” Ogi tersenyum heran.


“Lha, alasan kamu apa kalo jadi kepala sekolah tuh enak,” tanya Jamil sambil tetap berbisik.

“Enaknya, kalo ada tugas di luar kota bisa jalan-jalan tuh. Pulangnya bawa oleh-oleh buat keluarga. Di sini juga ruangannya adem, sejuk, dan harum,” Ogi mesem-mesem.
“Nggak enaknya nih jadi kepala sekolah, kalo ada siswa bermasalah, pasti dia ikutan pusing. Lebih-lebih kalo ketahuan sama pihak luar sekolah. Citranya jatuh dah. Terus…” belum sempat Jamil ngomong lagi, pintu ruangan terbuka dan bapak kepala sekolah mengucapkan salam.
“Lama nunggu ya. Maaf. Silakan masuk, Bu!” ujarnya sambil mempersilakan seorang ibu masuk ke ruangannya.
Ogi dan Jamil jadi kaget. Dalam hati mereka bertanya, “Apa maksudnya dengan menghadirkan orang lain di ruangan ini. Apakah bapak kepala sekolah kurang pede menghadapi kita-kita.” Ogi dan Jamil saling berpandangan geer.
“Gimana, apa yang bisa kita bicarakan pada pagi ini? Kalo bisa singkat ya. Karena saya akan ada urusan di luar,” Pak Bustami mengawali pembicaraan sambil sedikit ngancem.
“Oya, kenalkan, ini salah seorang wali murid kelas 1, Ibu Roswita,” Pak Bustami sambil menunjuk ke arah perempuan paruh baya berkerudung.
“Jangan kaget, ini sekalian untuk kroscek dengan Ogi dan Jamil dari rohis sekolah. Sengaja saya datangkan salah seorang wali murid karena ada anak kelas 1 yang prestasi belajarnya merosot setelah ikut kegiatan rohis,” lanjut Pak Bustami.
Ogi dan Jamil berpandangan heran.
“Nah, langsung aja ya, bapak ingin bertanya kepada kalian berdua, kegiatan apa saja sih selama ini yang dilakukan di masjid sekolah?”
“Pengajian Pak! Juga membuat mading untuk menampung kreativitas anak-anak rohis,” Jamil buka mulut.
“Pengajian model apa?” Pak Bustami bertanya lagi.
“Memperdalam pengetahuan keislaman, Pak” Ogi menambahkan.
“Tapi saya lihat, pemikiran kalian agak beda dengan keumuman pemahaman tentang Islam dari kami-kami,” Pak Bustami menatap tajam mata Jamil dan Ogi seolah ingin menguliti.
“Bapak bisa mencontohkannya?” Ogi nggak kalah taktik dengan balik bertanya.
“Saya melihat banyak anak-anak yang jadi fanatik. Misalnya wajib berjilbab bagi perempuan, mengharamkan pacaran, salaman dengan wanita tidak boleh, bahkan ketika praktik IPA ada siswa rohis yang menolak menggunakan alkohol dengan alasan haram,” Pak Bustami panjang lebar.
Jamil dan Ogi agak panas karena selalu masalah itu yang dipersoalkan. Tapi Ogi masih bisa menahan diri. Di tengah kebingungan dan dalam waktu yang singkat itu Ogi harus mengambil keputusan untuk menjawab. Dia bertekad dalam hati, “Kalo nggak sekarang, kapan lagi. Aku harus sampaikan kebenaran.”
“Ehm.. Sebelum saya menjawab, saya minta penjelasan dari bapak. Mengapa pihak sekolah tidak melarang mereka yang bergaul bebas laki-perempuan padahal sudah ada kasus hamil di luar nikah di sekolah ini? Mengapa mereka tidak dikeluarkan? Mengapa pihak sekolah tidak merazia siswi yang memakai rok di atas lutut padahal itu sudah mengundang syahwat? Sebagai laki-laki saya tergoda. Mungkin bapak juga. Mengapa pula pihak sekolah tidak mengakui prestasi anak rohis yang ikutan lomba cepat-tepat matematika dan juara?” papar Ogi dengan pelan namun dalem.
Pak Bustami diam. Tak berkata. Mukanya agak merah. Mungkin merasa kalah di ronde pertama. Telak pula. Kemudian ia bertanya kepada ibu Roswita yang duduk di samping kanannya, “Prestasi anak ibu merosot setelah ikut kegiatan rohis. Benar?”
“Sebenarnya saya senang Pak anak saya ikut kegiatan keagamaan. Karena memang saya tak sempat mengajarinya. Beruntung ada kegiatan di sekolah. Perubahan perilakunya juga tambah baik kepada keluarga. Tapi…” belum meneruskan kata-katanya, langsung dipotong Pak Bustami.
“Tapi prestasinya turun kan…?”
“Memang, tapi bukan karena ikutan ngaji. Anak saya terpaksa sering menunggu ayahnya yang dirawat di rumah sakit jadi jarang belajar. Konsentrasinya terbelah,” Ibu Roswita sejujurnya.
Pak Bustami diam. Diam sangat lama. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ibarat petinju mungkin sudah KO dengan pukulan di ronde kedua itu. Pertemuan itu berlangsung singkat. Seperti permintaannya.
“Maaf Pak…!” Ogi dan Jamil hampir bersamaan.
“Cukup. Silakan keluar dari ruangan ini. Tinggalkan saya di sini”.
Ogi, Jamil, dan Bu Roswita meninggalkan ruangan kepala sekolah. Ogi dan Jamil berjalan gontai ke arah masjid sekolah sambil menderaskan kalimat yang sudah sangat dihapalnya: “Dakwah harus terus berjalan. Kebenaran tak akan pernah padam. Kami, bunga-bunga dakwah siap memberikan segalanya untuk harumnya Islam dan umat ini."

ROHIS SMAN 12 Jakarta

Admin

“Sesungguhnya kaum mukminin itu adalah bersaudara.” (Q.S. Al-Hujurat: 10)

2 komentar:

 

Copyright © ROHIS SMAN 12 JAKARTA 2016
Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism